Your Ad Here

Rabu, 06 Februari 2008

PENGINJILAN

1. Hakikat Penginjilan



Bila berbicara tentang penginjilan, maka akan ditemukan konsep atau pandangan dari orang percaya yang berbeda-beda. Dalam pengertian yang sempit, penginjilan sering diartikan sebagai cari jiwa atau menyelamatkan jiwa untuk dimasukkan ke dalam gereja.[1] Sementara itu, Peter Wagner menyatakan bahwa pada hakikatnya penginjilan adalah penyampaian kabar baik.[2]


Sedangkan menurut Y. Tomatala, penginjilan sering diartikan sebagai ‘usaha untuk memberitakan kabar baik kepada orang-orang yang belum mengenal Yesus Kristus dengan tujuan agar mereka dapat menerima Dia sebagai Tuhan dan Juruselamat pribadi’, tetapi sebenarnya penginjilan adalah rancangan dan karya Allah yang menciptakan bagi diri-Nya suatu umat untuk bersekutu, menyembah, dan melayani Dia secara serasi dan utuh.[3] Ini berarti bahwa penginjilan itu bertujuan untuk memuridkan seseorang menjadi murid Kristus sesuai dengan rencana Allah.


Setiap orang Kristen hendaknya dapat menghayati imannya menurut kebenaran Injil Kristus dalam kehidupannya sehari-hari. Menghayati iman kristiani berdasarkan Injil Yesus Kristus berarti mengikuti Dia, menempuh jalan-Nya untuk memaklumkan Kerajaan Allah dalam situasi nyata.[4] Ini berarti setiap orang yang beriman kepada Kristus bertanggung jawab untuk memberitakan Injil dalam praktik hidup setiap hari, baik melalui perkataan maupun perbuatannya.




2. Penginjilan Dalam Alkitab


a. Penginjilan dalam Perjanjian Lama



Dalam konteks Perjanjian Lama belum terdapat penugasan yang tegas untuk melakukan pekabaran Injil ke luar terhadap segala bangsa. Akan tetapi, yang diutamakan dalam Perjanjian Lama adalah pemilihan

Israel
dengan bangsa-bangsa lain.[5] Mengenai hal ini, Y. Tomatala menjelaskan,


Secara sepintas Perjanjian Lama terlihat sepi dari konsepsi penginjilan. Tetapi bila dilihat dari kaca mata Perjanjian Baru yang lebih obyektif, maka jelaslah bahwa pandangan yang menganaktirikan Perjanjian Lama dari penginjilan itu tidak dapat dibenarkan. Perjanjian Lama merupakan dasar berpijak secara teologi filosofis bagi penginjilan dan sekaligus merupakan manifestasi penginjilan berdasarkan rancangan penyelamatan Allah yang kekal.[6]




Konsep Penginjilan mulai berkembang dari Perjanjian Lama yang kemudian menjadi nyata dalam Perjanjian Baru. Perjanjian Lama lebih menekankan Allah sebagai INISIATOR penginjilan dan dasar titik tumpu bagi penginjilan, sehingga secara jelas bahwa penginjilan bersumber dan berporos pada Allah Sang Pencipta. Dengan demikian penginjilan merupakan inisiatif Allah sendiri, dan penginjilan dengan sendirinya didukung oleh Allah yang hidup dan berkarya bagi diri-Nya.



b. Penginjilan dalam Perjanjian Baru



Pada hakikatnya penginjilan dalam Perjanjian Baru adalah pusat pelaksanaan Amanat Agung Yesus Kristus (Mat. 28:19-20) yang juga merupakan misi Allah seutuhnya. Sebelum Kristus naik ke surga, Ia memberikan suatu tugas kepada gereja, untuk pergi ke seluruh dunia dan menjadikan orang-orang murid-Nya, dengan mengajar mereka melakukan segala sesuatu yang telah diperintahkan-Nya.

Perjanjian Baru lebih menekankan Allah sebagai konsumator penginjilan. Artinya bahwa penginjilan dalam Perjanjian Baru telah digenapi di dalam Yesus Kristus melalui kedatangan-Nya ke dalam dunia ini. Mengenai hal ini J. Verkuyl menyatakan,

Dalam Perjanjian Baru, konseptor dan inisiator misi adalah Kristus sendiri, sebagaimana Mesias yang dijanjikan dalam Perjanjian Lama. Oleh karena Bapa dan Anak itu satu adanya, maka Kristus pun berhak memberi mandat misi kepada para murid, seperti yang diungkapkan dalam keempat Injil dan Kisah Para Rasul.[7]



Dengan demikian gereja dituntut supaya melayani Allah dengan menyerahkan hidupnya bagi tugas tersebut. Harun Hadiwijono menegaskan bahwa oleh karena Allah menghendaki supaya semua orang selamat (1 Tim. 2:4), maka Allah bekerja untuk menyelamatkan semua orang.[8] Dalam hal ini, gereja yang adalah tubuh Kristus, tidak boleh hanya menjadi penonton saja, tetapi gereja dipanggil untuk turut serta di dalam pelaksanaan kehendak Allah. Oleh karena itu, gereja harus mau turut campur tangan di dalam kehidupan orang lain.

[1] S. H. Widyapranawa, Benih Yang Tumbuh (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1973), hal. 197

[2] C. Peter Wagner, Strategi Perkembangan Gereja (

Malang
: Gandum Mas), hal. 114

[3] Y. Y. Tomatala, Penginjilan Masa Kini 1 (Malang: Gandum Mas, 1995), hal. 1

[4] J. B. Banawiratma, 10 Agenda Pastoral Transformatif (

Yogyakarta
: Kanisius, 2002), hal. 19

[5] Arie de Kuiper, Missiologi (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996), hal. 18

[6] Tomatala, op. cit., hal. 2

[7] P. Octavianus, Gereja Memasuki Abad XXI (Malang: YPPII, 1997), hal. 33

[8] Harun Hadiwijono, Inilah Sahadatku (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1995), hal. 145


bersambung